Sabtu, 11 Januari 2014

Kaidah Dalam Beribadah Islam Bag. 1

الأَصْلُ فِى اْلعِبَادَةِ اَلتَّحْرِيْمُ وَالْبَطْلُ إِلاَّ مَا جَاءَ بِهِ الدَّ لِيْلِ عَلىَ اَوَامِرِهِ

"Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali ada dalil yang memerintahkan".

Dalil /Nash Al Qur’an;
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Alloh dan Rosulnya [1407] dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Hujurat :1)

[1407] maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Alloh dan RosulNya. Tidak boleh membuat cara ibadah sebelum ada perintah dari Alloh dan tuntunan dari Rosulullah SAW.

فاَ الأَصْلُ في الْعِبَادَتِ اْلبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلىَ اْلأَمْرِ

"Hukum asal dari ibadah adalah bathal, hingga tegak dalil (argument) yang memerintahkannya".
( Imam As Suyuthi, dalam Al Asyba' Wan Nadhoir: 44 dan Ibnu Qoyyim Al Jauziyah dalam I'lamul Muwaqi'ien Juz 1 hal. 344, Dar Al Fikr, Beirut).

Ibadah pada dasarnya adalah haram dan batal. Hukum asalnya adalah haram, dan sesuatu yang batal, tidak syah, tidak berguna dan sia-sia.

Hukum haram dapat berubah menjadi wajib, atau sunnah apabila ada perintah dari Alloh dan Rosul-Nya. Apabila tidak ada perintah dari Alloh dan Rosul-Nya atau apabila tidak ada dalil yang menyuruh (perintah) melakukannya, ia kembali kepada hukum asal HARAM.

اَلأَ صْلُ فِى اْلعِبَا دَةِ التَّوْقِيِفُ وَاْلإِ تِّبَاعُ
"Hukum asal ibadah adalah Tauqif dan Ittiba”.
( bersumber pada ketetapan Alloh dan mengikuti Rosul) ( Abdul Hamid Hakim dalam Al Bayan : 188).

Dalinya berdasarkan Hadits :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُ نَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang membuat suatu amalan dalam agama ini ( Islam ) yang tidak ada tuntunannya (contohnya), maka amalan tersebut tertolak”.
(HR. Bukhori no. 2679. HR. Muslim no. 1718). (Hadits Shahih)

Hukum-hukum dalam beribadah sudah baku, hak mutlak/otoritas Alloh (karena Ibadah hanya kepada Alloh dan hanya Alloh yang menciptakan cara beribadah sehingga tidak ada peluang bagi manusia untuk membuat cara baru walaupun dipandang baik). Hukum dalam ibadah berupa “mandat” dari Alloh dengan cara mengikuti Rosululloh, manusia hanya menjalankan sesuai isi mandat dan juklak ( petunjuk pelaksanaan : Al Qur'an dan Hadits Shahih). Apabila dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, apabila sesuai atau tidak sesuai, ada ganjaran, yaitu pahala dan dosa.




اَلأَ صْلُ فِى اْلعِبَا دَةِ مَأْ مُوْرٌ
"Hukum asal ibadah adalah ( apabila ada ) perintah".

Dalilnya adalah :
"Katakanlah: "Sesungguhnya Aku diperintahkan supaya menyembah Alloh SWT dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) Agama”. (QS. Az Zumar : 11)

Tanpa adanya perintah Alloh atau dari Rosul-Nya, maka siapa yang memerintahkannya ? Kalau bukan atas perintah Alloh atau dari Rosul-Nya maka bisa terjatuh dalam kesyirikan, berarti ada "tuhan" lain yang memerintahkan cara beribadah sesuai kemauan si "tuhan" tersebut. Padahal yang membuat cara beribadah dan cara menyembah kepada Alloh hanyalah Alloh semata.

Maka tidak boleh melakukan suatu ibadah, walaupun (cara /model ibadah tanpa dasar tadi) dipandang baik oleh orang apalagi jika berulang serta dilakukan oleh orang banyak [baca : Bid'ah]. Lebih baik diam (tidak mengerjakan) apabila tidak tahu dalilnya, atau bertanya kepada yang mengetahui hukumnya.

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh SWT. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh SWT)." [ QS. Al An'am : 116]

Dalam ibadah jangan mengikuti persangkaan atau perasaan. Ah ! itukan baik !, yang penting niatnya baik !, lihat orang-orang, banyak yang melakukannya. Ah ! itukan sudah tradisi ! Orang-orang sebelum kita (nenek moyang kita, bapak-bapak kita) juga melakukannya !, kan dari dulu sudah ada sejak zaman Wali songo dan para syeikh juga melakukannya!

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Alloh SWT," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".( QS. Al Baqarah : 170 )

Kalau tidak ada perintah Alloh SWT, atau kalau tidak ada contohnya dari Rosululloh, maka kita perlu bertanya, perintah siapakah yang menyuruh beribadah dengan model seperti itu ? Kalau seandainya perintah manusia ( misalnya : Syaikh, Tuan Guru, Guru Tariqat, Habib, Kiyai, Ustadz, Maulana, Presiden, Suami, Ayah ) maka merekalah yang kita sembah. Karena mengikuti atau menta'ati cara beribadah yang dibuat oleh mereka sendiri (seandainya tanpa dalil yang shahih). Secara tidak sadar terjatuh dalam perbuatan syirik, karena ada si pembuat baru selain Alloh SWT. Ingat ! Hanya Alloh SWT yang membuat cara ibadah dan hanya Alloh SWT yang patut disembah atau di ibadahi, إِيَّاكَ نَعْبُدُ dan tidaklah Alloh SWT menciptakan Manusia dan Jin kecuali hanya untuk beribadah kepada Alloh.

وَمَا خَلَقْتُ اْلجِنَّ وَالإِ نْسَ إِلاَّ ِليَعْبُدُوْن

Tidak ada satu pun ibadah dalam Islam, kecuali Nabi sudah mencontohkannya, kemudian diikuti oleh para Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in. Kita tidak boleh meniru atau mengikuti siapapun dalam beribadah, walau dia dikatakan sebagai orang yang ‘alim atau ulama, kecuali orang itu mengikuti (Ittiba') cara Rosululloh, maka ikutilah. Cara mengetahui bagaimana tata cara Rosululloh dalam beribadah dan mu’amalah adalah dengan cara mempelajari sejarah Nabi Muhammad (Siroh Nabawiyah) ) dan Hadits-hadits Nabi yang shahih, namun tidak semua Bahasa Arab adalah Hadits dan Al Qur’an. Cara mudah untuk memvalidasi kebenaran sebuah Hadits dan Siroh Nabawi adalah dengan menandingi nya dengan Al Qur’an ( Nasekh Mansukh ), selain dengan cara Asbabul Wurud, Perowi dan Sanad Hadits.
اَلأَصْلُ فِى ْالِعبَا دَاتِ اْلحَظْرُ وَاْلمَنْعُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلىَ الْمَشْرُوْعِيَّةِ

"Prinsip dasar dalam berbagai ibadah itu " bahaya" dan "terlarang", hingga adanya dalil yang menunjukkan pensyari'atannya".

Ibadah adalah hubungan, sarana untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT, dengan mengharap ridha-Nya, ampunan-Nya, dan pasti tujuannya kebaikan. Alloh SWT-lah yang menciptakan ibadah, karena itu tidak boleh melakukan ibadah kecuali apa yang telah disyari'atkan Alloh SWT. Sebab hanya Pembuat Syari'at (Alloh SWT) sendiri yang berhak membuat cara-cara ibadah bagi hamba-Nya untuk mendekatkan diri pada-Nya. Bahanyanya adalah apabila kita salah sembah. Siapa yang kita sembah ?

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Alloh SWT, yang mensyari'atkan untuk mereka apa yang tidak diizinkan Alloh SWT" (QS. As-Syura : 21)

[sembahan-sembahan selain Alloh SWT, maksudnya adalah orang-orang yang menciptakan cara beribadah sendiri, tanpa ada dalil / Nash dari Alloh SWT dan petunjuk Rosululloh]

Hakikat ibadah tercermin dalam dua hal :
1.        Tidak ada yang di ibadahi kecuali hanya Alloh SWT. ( Who / Man ).
2.        Tidak boleh beribadah kepada Alloh SWT kecuali dengan cara yang telah disyari'atkan-Nya ( How / Kaifiyah ).

Atau dalam pengertian yang lain :
1.        Ikhlas hanya kepada Alloh SWT semata.
2.        Amalan tersebut harus dikerjakan atas tuntunan/ panduan/ SOP/ Juklak ( Ittiba' ) kepada Rosululloh.


Ikhlash dan Mutaba’ah adalah syarat diterimanya ibadat
لا تقبل العبادة إلا بالإخلاص والمتابعة

“Tidak diterima ibadat kecuali dengan ikhlas dan mutaba’ah ( mengikuti cara Rosululloh )”

Keterangan :
1.        Ikhlash :
Seseorang yang beramal, maka niatnya tidak terlepas dari tiga kemungkinan :
a.    Tidak ada yang dia inginkan dengan amalnya kecuali Alloh SWT Yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Maka inilah yang diterima, karena syarat ikhlas telah terpenuhi padanya.

b.    Tidak ada yang dia inginkan dengan amalnya kecuali dunia dan perhiasannya. Ini tertolak, karena berlawanan dengan ikhlash.

c.    Keinginannya dia sekutukan antara keinginan kepada Alloh SWT dengan keinginan kepada makhluk. Dalam beramal dia meinginkan Alloh SWT dan sekaligus juga menginginkan pujian, sanjungan, kedudukan dan kehormatan. Inipun juga tertolak.

2.        Mutaba’ah :
Yaitu melaksanakan ibadat yang kaifiyatnya sebagaimana kaifiyat yang dilaksanakan Rosululloh SAW. tanpa penambahan dan pengurangan, seperti sholat sebagaimana beliau sholat, berpuasa sebagaimana beliau berpuasa dan berhaji sebagaimana beliau berhaji. Banyak dalil yang menekankan syarat ( mutaba’ah ) ini. Maka setiap ayat yang mensyaratkan bahwa Rosululloh SAW. sebagai contoh dan teladan adalah sebagai petunjuk wajib untuk mengikuti beliau dalam hal yang demikian.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya pada diri Rosululloh ada teladan yang baik untuk kamu, bagi yang mengharapkan Alloh SWT dan hari kemudian dan mereka sangat ingat kepada Alloh SWT” ( Al Ahzab : 21 )

Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara:

1.        Sebab
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Alloh SWT dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah Bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh: Ada orang yang melakukan sholat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj Rosululloh (dinaikkan ke atas langit). Sholat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini- yaitu: ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah.

2.        Jenis.
Artinya: ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh: Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.

3.        Tatacara ( Kaifiyah )
Yaitu yang tatacara nya mengikuti tatacara Nabi SAW. seperti sholat ( sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat ) dan Haji ( ambillah tatacara Haji kamu dariku ). Maka siapa saja yang melakukan suatu ibadat ( seperti ini ) yang tatacara nya berbeda dengan tatacara yang dibawa Nabi SAW. maka ibadatnya menjadi bathal, lantaran bukan beracuan pada perintah Nabi SAW.

4.         Tempat. ( makan )
Bila sebuah ibadah yang pelaksanaannya dikhususkan pada tempat tertentu, maka sebenarnya tidak boleh melakukannya di tempat yang lainnya kecuali dengan dalil yang membenarkannya di tempat tersebut; seperti haji, thawaf, sa’i dan menyembelih al hadyu ( qurban haji ), andai kata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari'at.

5.         Waktu ( zaman )
Bila suatu ibadah yang memiliki waktu tertentu yang tidak sah ( pelaksanaan nya ) kecuali di waktu tersebut, maka tidak boleh melakukannya pada waktu yang lain. Karena mesti mengikuti Nabi saw. dalam hal waktu ( pelaksanaannya ). Seperti waktu ber-haji, sholat lima waktu dan Puasa Ramadlan.

6.         Qadar ( ukuran / bilangan)
Bila syari’at telah menentukan ukuran tertentu untuk suatu ibadat, maka sebenarnya siapapun tidak boleh menambah atau menguranginya. Penambahan dan pengurangan ini tidak sah kecuali dengan dalil yang mengesahkannya. Karena bila tidak ada ( dalilnya ), hal itu tidak boleh. Seperti bilangan raka’at sholat lima waktu, bilangan melontar jumrah, bilangan thawaf, bilangan sa’i, nishab zakat, bilangan kafarat dan hudud dan lain-lain. Semua ini telah ditentukan ukurannya. Maka setiap muslim wajib mengikuti Nabi SAW. tentang ukuran tersebut.

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ, إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ… (رواه النسائي يرقم 1560, وابن ماجه في مقدمة السنن برقم45(

“Barangsiapa diberi hidayah oleh Alloh SWT, maka tak seorang pun bisa menyesatkannya; dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Alloh SWT, maka tak seorang pun yang bisa memberinya hidayah. Sebenar-benar perkataan adalah Kitabulloh, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad SAW. Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan ( dalam agama ), dan setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) ialah Bid’ah, sedang setiap Bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di Neraka…” ( H.R. An Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Irwa’ul Ghalil 3/73 )

Dari ‘Irbadh Bin Sariyah Rodhiyalloh ‘anhu berkata: Rosululloh memberi nasehat kepada kami dengan nasehat yang mendalam, yang karenanya berlinanganlah air mata (karena terharu) dan membuat hati kami bergetar. Seseorang dari kami berkata: Ya Rosululloh, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Maka beliau bersabda (yang artinya): "Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap bertaqwa kepada Alloh SWT, dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi (Etiopia). Barang siapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang sesudah ku), gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat." (HR. Ahmad 4/126, Abu Dawud no.4607, At-Tirmidziy no.2676 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiihul Jaami’ no.2546)

[ talqihul ifhamil ‘illiyah bi syarhil qawa’idil fiqhiyah 1 : 54, qaidah no.15 ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar