Senin, 13 Januari 2014

Pengertian Bidah

PENGERTIAN BID'AH

Oleh, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Bid'ah menurut bahasa, diambil dari bida' yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh.

Sebelumnya Alloh berfirman.
Badiiu' as-samaawaati wal ardli
“ Alloh pencipta langit dan bumi " [Al-Baqaroh : 117]
Maksudnya adalah Alloh yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman Alloh.
Qul maa kuntu bid'an min ar-rusuli
Katakanlah : 'Aku bukanlah Rosul yang pertama di antara Rosul-Rosul ". [Al-Ahqof : 9].
Maksudnya adalah Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Alloh Ta'ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para Rosul yang telah mendahuluiku.

Dan dikatakan juga : "Fulan mengada-adakan bid'ah", maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.

Dan perbuatan bid'ah itu ada dua bagian :
1.      Perbuatan bid'ah dalam adat istiadat (kebiasaan); seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk di dalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macam nya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan/ muamalah) adalah mubah (Jaiz).

2.      Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam); hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah/ Absolute) ; Rosulullah ShallAllohu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : "Artinya : “Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)". Dan di dalam riwayat lain disebutkan : " Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak".






MACAM-MACAM BID'AH

Bid'ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
  1.    Bid'ah Qauliyah 'Itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
  2.    Bid'ah Fil Ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Alloh dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh Alloh : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :


a.      Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Alloh Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran, perayaan tahun baru, tahlilan, maulidan, rajaban, sungkeman, dzikir bersama, doa lintas agama, dll.

b.      Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

c.       Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam

d.      Bid'ah yang bentuknya mengkhususkan suatu ibadah yang disyari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

HUKUM BID'AH DALAM AD-DIEN

Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam,

" Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat ". [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Dan sabda Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam
" Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak ".

Dan dalam riwayat lain disebutkan :
" Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak ".

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak. Artinya bahwa bid'ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.

Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid'ah-nya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo'a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya.

Begitu juga bid'ah seperti bid'ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu'tazilah. Ada juga bid'ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo'a disisinya. Ada juga bid'ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid'ah Khawarij, Qadariyah dan Murji'ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid'ah yang merupakan maksiat seperti bid'ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima' (bersetubuh).

Catatan :
Orang yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah syayyiah (jelek) adalah SALAH DAN MENYELESIHI sabda Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam : " SESUNGGUHNYA SETIAP BENTUK BID'AH ADALAH SESAT".

…..وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ…….
 (رواه أبو داود(

Karena Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid'ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid'ah) mengatakan tidak setiap bid'ah itu sesat, tapi ada bid'ah yang baik !

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya "Syarh Arba'in" mengenai sabda Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah sesat", merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : " Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak". Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.

Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid'ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar RadhiyAllohu 'anhu pada shalat Tarawih : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", juga mereka berkata : "Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)", yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya".

Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari'at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar RadhiyAllohu 'anhu : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", maksudnya adalah bid'ah menurut bahasa dan bukan bid'ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan "itu bid'ah" maksudnya adalah bid'ah menurut arti bahasa bukan menurut syari'at, karena bid'ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya. Maksudnya adalah bahwa Umar RA hanya berkata, mengomentari, itu adalah kalimat berita, atau Umar hanya ingin bilang, “ bahwa ini adalah ini”. Bukan memberi sifat/ memvonis/ mencap/ menggelari pada sholat tarawih berjamaah tersebut. Jadi itu hanya nukilan pendapat pribadi Umar RA, bukan berdasrkan perintah Umar yang berasal dari perintah Rosul SAW yang berasal dari kewahyuaan ilahiah. Jelas itu PENDAPAT PRIBADI.
Ingat bahwa Hadits adalah perkataan dan perbuatan yang disandarkan seluruhnya pada Nabi Muhammad SAW.

Dan pengumpulan Al-Qur'an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi ShallAllohu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur'an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat RadhiyAllohu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.

Juga shalat Tarawih, Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama'ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar RadhiyAllohu 'anhu menjadikan mereka satu jama'ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid'ah dalam Ad-Dien.

Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur'an. Ketika Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur'an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Alloh Ta'ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Alloh dan Sunnah Nabi mereka ShallAllohu 'alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.



[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.]

Minggu, 12 Januari 2014

Hiduplah di Dunia dan Akhirat

Dawai Sang Sufi
(Al Futuhat)
Hidup adalah ibadah
Dalam ayat-Nya Allah berfirman,
Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’bududun
Lama aku tidak percaya dengan ayat ini
Fikirku aku hanya disuruh shalat, puasa dan dzikir
Apalagi ketika aku berfikir tentang ayat,
Wa’bud robbaka hatta ya’tiyakal yakin,
Demi Allah, aku tidak sanggup untuk beribadah terus menerus…
Aku bingung
Aku takut
Aku lari dari pendapatku sendiri
Suatu hari aku bertanya kepada guruku
Guruku mengatakan, “Tidak salah pendapatmu, tapi kurang”.
Ketahuilah…..
Dalam ayat lain Allah juga berfirman
Wala tansa nasibaka minaddunya
Dan La yukallifullahu nafsan illa wus’aha
Jelas Allah tidak hanya menyuruh kita untuk sholat dan puasa
Allah juga menyuruh kita untuk mencari dunia
Bahkan Allah melarang kita untuk membebani diri kita dengan beban yang berat
Sehingga kita tidak mampu memikulnya
Walaupun itu ibadah
Ketauhillah…..
Ibadah itu bukan bentuk lahirnya
Banyak perkara dunia yang berubah menjadi amal dunia karena niat
Banyak perkara yang kadang menurut kita tidak ada nilainya tetapi
Disisi Allah sangat berharga
Engkau makan,minum, tidur, cari nafkah, menikah
Tetapi diniati untuk menguatkan ibadah
Itulah arti Wama kholaqtul jinna wal insa illa liyakbudun
Dan engkau dapat istiqomah sholat, puasa, dzikir
Dengan bantuan makan, minum dan menikah
Itulah arti Wa’bud robbaka hatta ya’tiyakal yaqin
Jika engkau sholat, puasa tetapi tidak makan dan minum
Pasti engkau akan mati
bukankah ini bunuh diri dan jelas tidak ibadah ?
Engkau hanya sholat, puasa dan dzikir tetapi tidak menikah
Sehingga suatu ketika terjerumus zina, apakah arti semua ibadahmu ?
Ingatlah Allah pencipta manusia dengan ukuran dan aturan
Janganlah engkau mempertahankan kebodohanmu
Janganlah engkau hancur hanya karena pemahamanmu yang salah
Dan ingatlah pesan Allah Alladzina yastami’unal qoula
Fayattabi’una ahsanah…..
Orang-orang yang mendengarkan pendapat
Kemudian mengikuti pendapat yang paling bagus
Merekalah yang diberi petunjuk Allah
Dan merekalah orang-orang yang beruntung…..



sumber : dadam55188.tripod.com

Kamu Lebih Tahu Urusan Duniamu

Dari Thalhah Bin ‘Ubaidillah ra, ia berkata, “Aku bersama Rosulullah berjalan melewati beberapa kebun kurma, Kemudian Rosulullah bertanya, “Apa yang mereka lakukan ?” Orang-orang sekitar pun menjawab, “Mereka menyerbukkan dengan menjadikan benih pejantan masuk kedalam benih betinanya, hingga jadilah penyerbukan””. Rosulullah bersabda “Aku menduga, Andai mereka meninggalkannya, mungkin lebih baik”, Lalu mereka membiarkannya, dan hasil kurmanya berkurang. Mereka bertanya kepada Nabi, dan Rosulullah pun bersabda “Apabila penyerbukan tersebut memang bermanfaat bagi mereka, maka lakukanlah sesungguhnya aku hanya menduga saja, janganlah kalian mengambil dugaan yang ku buat, Namun apabila aku mengabarkan pada kalian sesuatu yang datangnya dari Alloh, maka ambillah, sesungguhnya aku tidak akan pernah berbohong atas apa yang datang dari Alloh (dalam riwayat lain Rosulullah bersabda “KALIAN LEBIH TAHU URUSAN DUNIAMU)” (HR. Muslim)

Hikmah Hadits tersebut,

  1. Imam Nawawy dalam Syarh Muslim menyatakan wajibnya menjalankan perintah Nabi yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat bukan apa yang yang dituturkan oleh Nabi yang berdasarkan dugaan ataupun pendapat yang bersifat pribadi (bukan bersumber dari wahyu) seperti dalam masalah-masalah pekerjaan, keterampilan dan urusan dunia lainnya.
  2. Dalam segala urusan dunia yang tidak berkaitan dengan hukum syariat (halal, haram, sah, rusak dll.) hendaknya seseorang berusaha untuk mendalaminya sendiri dengan mencoba dan melakukan berbagai percobaan (observasi) agar dapat meraih kesuksesan.
  3. Dalam urusan dunia yang tidak berkaitan dengan syariat, baik berupa profesi ataupun adat istiadat diperkenankan terjadi perubahan-perubahan dan pengembangan-pengembangan baru.
  4. Rosulullah adalah sosok yang hampir disetiap waktunya tidak pernah berpaling dari urusan akhirat sehingga saat ditanya tentang urusan duniawi bisa saja beliau keliru sebagaimana manusia pada umumnya, atau beliau menjawabnya dengan “Kalian lebih tahu urusan duniamu”.
  5. Pentingnya menimbang pengalaman dari orang lain, berdiskusi, bermusyawarah karena kekurangan manusia bisa tertutupi oleh kelebihan selainnya dalam setiap permasalahan baik duniwi ataupun ukhrawy sebagaimana yang diperintahkan oleh Alloh
  6. “Dan bermusyawarahlah kalian dalam setiap perkara (keduniawiaan)” (QS. Ali Imron, 159)