Senin, 13 Januari 2014

Pengertian Bidah

PENGERTIAN BID'AH

Oleh, Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan

Bid'ah menurut bahasa, diambil dari bida' yaitu mengadakan sesuatu tanpa ada contoh.

Sebelumnya Alloh berfirman.
Badiiu' as-samaawaati wal ardli
“ Alloh pencipta langit dan bumi " [Al-Baqaroh : 117]
Maksudnya adalah Alloh yang mengadakannya tanpa ada contoh sebelumnya.

Juga firman Alloh.
Qul maa kuntu bid'an min ar-rusuli
Katakanlah : 'Aku bukanlah Rosul yang pertama di antara Rosul-Rosul ". [Al-Ahqof : 9].
Maksudnya adalah Aku bukanlah orang yang pertama kali datang dengan risalah ini dari Alloh Ta'ala kepada hamba-hambanya, bahkan telah banyak sebelumku dari para Rosul yang telah mendahuluiku.

Dan dikatakan juga : "Fulan mengada-adakan bid'ah", maksudnya : memulai satu cara yang belum ada sebelumnya.

Dan perbuatan bid'ah itu ada dua bagian :
1.      Perbuatan bid'ah dalam adat istiadat (kebiasaan); seperti adanya penemuan-penemuan baru dibidang IPTEK (juga termasuk di dalamnya penyingkapan-penyingkapan ilmu dengan berbagai macam-macam nya). Ini adalah mubah (diperbolehkan) ; karena asal dari semua adat istiadat (kebiasaan/ muamalah) adalah mubah (Jaiz).

2.      Perbuatan bid'ah di dalam Ad-Dien (Islam); hukumnya haram, karena yang ada dalam dien itu adalah tauqifi (tidak bisa dirubah-rubah/ Absolute) ; Rosulullah ShallAllohu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : "Artinya : “Barangsiapa yang mengadakan hal yang baru (berbuat yang baru) di dalam urusan kami ini yang bukan dari urusan tersebut, maka perbuatannya di tolak (tidak diterima)". Dan di dalam riwayat lain disebutkan : " Barangsiapa yang berbuat suatu amalan yang bukan didasarkan urusan kami, maka perbuatannya di tolak".






MACAM-MACAM BID'AH

Bid'ah Dalam Ad-Dien (Islam) Ada Dua Macam :
  1.    Bid'ah Qauliyah 'Itiqadiyah : Bid'ah perkataan yang keluar dari keyakinan, seperti ucapan-ucapan orang Jahmiyah, Mu'tazilah, dan Rafidhah serta semua firqah-firqah (kelompok-kelompok) yang sesat sekaligus keyakinan-keyakinan mereka.
  2.    Bid'ah Fil Ibadah : Bid'ah dalam ibadah : seperti beribadah kepada Alloh dengan apa yang tidak disyari'atkan oleh Alloh : dan bid'ah dalam ibadah ini ada beberapa bagian yaitu :


a.      Bid'ah yang berhubungan dengan pokok-pokok ibadah : yaitu mengadakan suatu ibadah yang tidak ada dasarnya dalam syari'at Alloh Ta'ala, seperti mengerjakan shalat yang tidak disyari'atkan, shiyam yang tidak disyari'atkan, atau mengadakan hari-hari besar yang tidak disyariatkan seperti pesta ulang tahun, kelahiran, perayaan tahun baru, tahlilan, maulidan, rajaban, sungkeman, dzikir bersama, doa lintas agama, dll.

b.      Bid'ah yang bentuknya menambah-nambah terhadap ibadah yang disyariatkan, seperti menambah rakaat kelima pada shalat Dhuhur atau shalat Ashar.

c.       Bid'ah yang terdapat pada sifat pelaksanaan ibadah. Yaitu menunaikan ibadah yang sifatnya tidak disyari'atkan seperti membaca dzikir-dzikir yang disyariatkan dengan cara berjama'ah dan suara yang keras. Juga seperti membebani diri (memberatkan diri) dalam ibadah sampai keluar dari batas-batas sunnah Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam

d.      Bid'ah yang bentuknya mengkhususkan suatu ibadah yang disyari'atkan, tapi tidak dikhususkan oleh syari'at yang ada. Seperti menghususkan hari dan malam nisfu Sya'ban (tanggal 15 bulan Sya'ban) untuk shiyam dan qiyamullail. Memang pada dasarnya shiyam dan qiyamullail itu di syari'atkan, akan tetapi pengkhususannya dengan pembatasan waktu memerlukan suatu dalil.

HUKUM BID'AH DALAM AD-DIEN

Segala bentuk bid'ah dalam Ad-Dien hukumnya adalah haram dan sesat, sebagaimana sabda Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam,

" Janganlah kamu sekalian mengada-adakan urusan-urusan yang baru, karena sesungguhnya mengadakan hal yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat ". [Hadits Riwayat Abdu Daud, dan At-Tirmidzi ; hadits hasan shahih].

Dan sabda Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam
" Barangsiapa mengadakan hal yang baru yang bukan dari kami maka perbuatannya tertolak ".

Dan dalam riwayat lain disebutkan :
" Barangsiapa beramal suatu amalan yang tidak didasari oleh urusan kami maka amalannya tertolak ".

Maka hadits tersebut menunjukkan bahwa segala yang diada-adakan dalam Ad-Dien (Islam) adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah sesat dan tertolak. Artinya bahwa bid'ah di dalam ibadah dan aqidah itu hukumnya haram.

Tetapi pengharaman tersebut tergantung pada bentuk bid'ah-nya, ada diantaranya yang menyebabkan kafir (kekufuran), seperti thawaf mengelilingi kuburan untuk mendekatkan diri kepada ahli kubur, mempersembahkan sembelihan dan nadzar-nadzar kepada kuburan-kuburan itu, berdo'a kepada ahli kubur dan minta pertolongan kepada mereka, dan seterusnya.

Begitu juga bid'ah seperti bid'ahnya perkataan-perkataan orang-orang yang melampui batas dari golongan Jahmiyah dan Mu'tazilah. Ada juga bid'ah yang merupakan sarana menuju kesyirikan, seperti membangun bangunan di atas kubur, shalat berdo'a disisinya. Ada juga bid'ah yang merupakan fasiq secara aqidah sebagaimana halnya bid'ah Khawarij, Qadariyah dan Murji'ah dalam perkataan-perkataan mereka dan keyakinan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan ada juga bid'ah yang merupakan maksiat seperti bid'ahnya orang yang beribadah yang keluar dari batas-batas sunnah Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam dan shiyam yang dengan berdiri di terik matahari, juga memotong tempat sperma dengan tujuan menghentikan syahwat jima' (bersetubuh).

Catatan :
Orang yang membagi bid'ah menjadi bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah syayyiah (jelek) adalah SALAH DAN MENYELESIHI sabda Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam : " SESUNGGUHNYA SETIAP BENTUK BID'AH ADALAH SESAT".

…..وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ…….
 (رواه أبو داود(

Karena Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam telah menghukumi semua bentuk bid'ah itu adalah sesat ; dan orang ini (yang membagi bid'ah) mengatakan tidak setiap bid'ah itu sesat, tapi ada bid'ah yang baik !

Al-Hafidz Ibnu Rajab mengatakan dalam kitabnya "Syarh Arba'in" mengenai sabda Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam : "Setiap bid'ah adalah sesat", merupakan (perkataan yang mencakup keseluruhan) tidak ada sesuatupun yang keluar dari kalimat tersebut dan itu merupakan dasar dari dasar Ad-Dien, yang senada dengan sabdanya : " Barangsiapa mengadakan hal baru yang bukan dari urusan kami, maka perbuatannya ditolak". Jadi setiap orang yang mengada-ada sesuatu kemudian menisbahkannya kepada Ad-Dien, padahal tidak ada dasarnya dalam Ad-Dien sebagai rujukannya, maka orang itu sesat, dan Islam berlepas diri darinya ; baik pada masalah-masalah aqidah, perbuatan atau perkataan-perkataan, baik lahir maupun batin.

Dan mereka itu tidak mempunyai dalil atas apa yang mereka katakan bahwa bid'ah itu ada yang baik, kecuali perkataan sahabat Umar RadhiyAllohu 'anhu pada shalat Tarawih : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", juga mereka berkata : "Sesungguhnya telah ada hal-hal baru (pada Islam ini)", yang tidak diingkari oleh ulama salaf, seperti mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu kitab, juga penulisan hadits dan penyusunannya".

Adapun jawaban terhadap mereka adalah : bahwa sesungguhnya masalah-masalah ini ada rujukannya dalam syari'at, jadi bukan diada-adakan. Dan ucapan Umar RadhiyAllohu 'anhu : "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", maksudnya adalah bid'ah menurut bahasa dan bukan bid'ah menurut syariat. Apa saja yang ada dalilnya dalam syariat sebagai rujukannya jika dikatakan "itu bid'ah" maksudnya adalah bid'ah menurut arti bahasa bukan menurut syari'at, karena bid'ah menurut syariat itu tidak ada dasarnya dalam syariat sebagai rujukannya. Maksudnya adalah bahwa Umar RA hanya berkata, mengomentari, itu adalah kalimat berita, atau Umar hanya ingin bilang, “ bahwa ini adalah ini”. Bukan memberi sifat/ memvonis/ mencap/ menggelari pada sholat tarawih berjamaah tersebut. Jadi itu hanya nukilan pendapat pribadi Umar RA, bukan berdasrkan perintah Umar yang berasal dari perintah Rosul SAW yang berasal dari kewahyuaan ilahiah. Jelas itu PENDAPAT PRIBADI.
Ingat bahwa Hadits adalah perkataan dan perbuatan yang disandarkan seluruhnya pada Nabi Muhammad SAW.

Dan pengumpulan Al-Qur'an dalam satu kitab, ada rujukannya dalam syariat karena Nabi ShallAllohu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan penulisan Al-Qur'an, tapi penulisannya masih terpisah-pisah, maka dikumpulkan oleh para sahabat RadhiyAllohu anhum pada satu mushaf (menjadi satu mushaf) untuk menjaga keutuhannya.

Juga shalat Tarawih, Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam pernah shalat secara berjama'ah bersama para sahabat beberapa malam, lalu pada akhirnya tidak bersama mereka (sahabat) khawatir kalau dijadikan sebagai satu kewajiban dan para sahabat terus sahalat Tarawih secara berkelompok-kelompok di masa Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam masih hidup juga setelah wafat beliau sampai sahabat Umar RadhiyAllohu 'anhu menjadikan mereka satu jama'ah di belakang satu imam. Sebagaimana mereka dahulu di belakang (shalat) seorang dan hal ini bukan merupakan bid'ah dalam Ad-Dien.

Begitu juga halnya penulisan hadits itu ada rujukannya dalam syariat. Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk menulis sebagian hadits-hadist kepada sebagian sahabat karena ada permintaan kepada beliau dan yang dikhawatirkan pada penulisan hadits masa Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam secara umum adalah ditakutkan tercampur dengan penulisan Al-Qur'an. Ketika Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam telah wafat, hilanglah kekhawatiran tersebut ; sebab Al-Qur'an sudah sempurna dan telah disesuaikan sebelum wafat Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam. Maka setelah itu kaum muslimin mengumpulkan hadits-hadits Rosulullah ShallAllohu 'alaihi wa sallam, sebagai usaha untuk menjaga agar supaya tidak hilang ; semoga Alloh Ta'ala memberi balasan yang baik kepada mereka semua, karena mereka telah menjaga kitab Alloh dan Sunnah Nabi mereka ShallAllohu 'alaihi wa sallam agar tidak kehilangan dan tidak rancu akibat ulah perbuatan orang-orang yang selalu tidak bertanggung jawab.



[Disalin dari buku Al-Wala & Al-Bara Tentang Siapa Yang harus Dicintai & Harus Dimusuhi oleh Orang Islam, oleh Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, terbitan At-Tibyan Solo, hal 47-55, penerjemah Endang Saefuddin.]

Minggu, 12 Januari 2014

Hiduplah di Dunia dan Akhirat

Dawai Sang Sufi
(Al Futuhat)
Hidup adalah ibadah
Dalam ayat-Nya Allah berfirman,
Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’bududun
Lama aku tidak percaya dengan ayat ini
Fikirku aku hanya disuruh shalat, puasa dan dzikir
Apalagi ketika aku berfikir tentang ayat,
Wa’bud robbaka hatta ya’tiyakal yakin,
Demi Allah, aku tidak sanggup untuk beribadah terus menerus…
Aku bingung
Aku takut
Aku lari dari pendapatku sendiri
Suatu hari aku bertanya kepada guruku
Guruku mengatakan, “Tidak salah pendapatmu, tapi kurang”.
Ketahuilah…..
Dalam ayat lain Allah juga berfirman
Wala tansa nasibaka minaddunya
Dan La yukallifullahu nafsan illa wus’aha
Jelas Allah tidak hanya menyuruh kita untuk sholat dan puasa
Allah juga menyuruh kita untuk mencari dunia
Bahkan Allah melarang kita untuk membebani diri kita dengan beban yang berat
Sehingga kita tidak mampu memikulnya
Walaupun itu ibadah
Ketauhillah…..
Ibadah itu bukan bentuk lahirnya
Banyak perkara dunia yang berubah menjadi amal dunia karena niat
Banyak perkara yang kadang menurut kita tidak ada nilainya tetapi
Disisi Allah sangat berharga
Engkau makan,minum, tidur, cari nafkah, menikah
Tetapi diniati untuk menguatkan ibadah
Itulah arti Wama kholaqtul jinna wal insa illa liyakbudun
Dan engkau dapat istiqomah sholat, puasa, dzikir
Dengan bantuan makan, minum dan menikah
Itulah arti Wa’bud robbaka hatta ya’tiyakal yaqin
Jika engkau sholat, puasa tetapi tidak makan dan minum
Pasti engkau akan mati
bukankah ini bunuh diri dan jelas tidak ibadah ?
Engkau hanya sholat, puasa dan dzikir tetapi tidak menikah
Sehingga suatu ketika terjerumus zina, apakah arti semua ibadahmu ?
Ingatlah Allah pencipta manusia dengan ukuran dan aturan
Janganlah engkau mempertahankan kebodohanmu
Janganlah engkau hancur hanya karena pemahamanmu yang salah
Dan ingatlah pesan Allah Alladzina yastami’unal qoula
Fayattabi’una ahsanah…..
Orang-orang yang mendengarkan pendapat
Kemudian mengikuti pendapat yang paling bagus
Merekalah yang diberi petunjuk Allah
Dan merekalah orang-orang yang beruntung…..



sumber : dadam55188.tripod.com

Kamu Lebih Tahu Urusan Duniamu

Dari Thalhah Bin ‘Ubaidillah ra, ia berkata, “Aku bersama Rosulullah berjalan melewati beberapa kebun kurma, Kemudian Rosulullah bertanya, “Apa yang mereka lakukan ?” Orang-orang sekitar pun menjawab, “Mereka menyerbukkan dengan menjadikan benih pejantan masuk kedalam benih betinanya, hingga jadilah penyerbukan””. Rosulullah bersabda “Aku menduga, Andai mereka meninggalkannya, mungkin lebih baik”, Lalu mereka membiarkannya, dan hasil kurmanya berkurang. Mereka bertanya kepada Nabi, dan Rosulullah pun bersabda “Apabila penyerbukan tersebut memang bermanfaat bagi mereka, maka lakukanlah sesungguhnya aku hanya menduga saja, janganlah kalian mengambil dugaan yang ku buat, Namun apabila aku mengabarkan pada kalian sesuatu yang datangnya dari Alloh, maka ambillah, sesungguhnya aku tidak akan pernah berbohong atas apa yang datang dari Alloh (dalam riwayat lain Rosulullah bersabda “KALIAN LEBIH TAHU URUSAN DUNIAMU)” (HR. Muslim)

Hikmah Hadits tersebut,

  1. Imam Nawawy dalam Syarh Muslim menyatakan wajibnya menjalankan perintah Nabi yang berkaitan dengan hukum-hukum syariat bukan apa yang yang dituturkan oleh Nabi yang berdasarkan dugaan ataupun pendapat yang bersifat pribadi (bukan bersumber dari wahyu) seperti dalam masalah-masalah pekerjaan, keterampilan dan urusan dunia lainnya.
  2. Dalam segala urusan dunia yang tidak berkaitan dengan hukum syariat (halal, haram, sah, rusak dll.) hendaknya seseorang berusaha untuk mendalaminya sendiri dengan mencoba dan melakukan berbagai percobaan (observasi) agar dapat meraih kesuksesan.
  3. Dalam urusan dunia yang tidak berkaitan dengan syariat, baik berupa profesi ataupun adat istiadat diperkenankan terjadi perubahan-perubahan dan pengembangan-pengembangan baru.
  4. Rosulullah adalah sosok yang hampir disetiap waktunya tidak pernah berpaling dari urusan akhirat sehingga saat ditanya tentang urusan duniawi bisa saja beliau keliru sebagaimana manusia pada umumnya, atau beliau menjawabnya dengan “Kalian lebih tahu urusan duniamu”.
  5. Pentingnya menimbang pengalaman dari orang lain, berdiskusi, bermusyawarah karena kekurangan manusia bisa tertutupi oleh kelebihan selainnya dalam setiap permasalahan baik duniwi ataupun ukhrawy sebagaimana yang diperintahkan oleh Alloh
  6. “Dan bermusyawarahlah kalian dalam setiap perkara (keduniawiaan)” (QS. Ali Imron, 159)




Motivasi Bag. 2

common people discuss the people
midle people discuss the events
great people discuss the ideas
------------------------------------------------------
masyarakat umum (orang biasa) membahas orang
orang menengah membahas peristiwa
orang-orang hebat mendiskusikan ide-ide

by, Pon Pes Ibnu Siena

Motivasi Bag. 1

Ikhwanul Muslimin memiliki landasan berupa:

1.      Allah tujuan kami (Allahu ghayatuna)
2.      Rasulullah teladan kami (Ar-Rasul qudwatuna)
3.      Al-Qur'an landasan hukum kami (Al-Quran dusturuna)
4.      Jihad jalan kami (Al-Jihad sabiluna)
5.      Mati syahid di jalan Allah cita-cita kami yang tertinggi (Syahid fiisabilillah asma amanina)

Kaidah Dalam Muamalah Bag. 1

اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ

"Hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)"
(Imam As Suyuthi, dalam al Asyba' wan Nadhoir: 43)

لاَ تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلاَّ بِشَرْعِ اللهِ , وَلاَ تُحَرَّمُ عاَ دَةٌ إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ اللهِ

"Tidak boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari'atkan oleh Alloh SWT, dan tidak dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh Alloh SWT"

Muamalah pada dasarnya adalah “mubah”. Asal hukumnya boleh (jaiz). Ia berubah hukumnya apabila ada larangan. Apabila ada larangan, sesuatu yang halal, maka berubah menjadi “haram” dan “makruh”. Apabila tidak ada larangan, atau apabila tidak ada dalil yang melarangnya, ia kembali kepada hukum asalnya, yaitu “HALAL”.

"Dia-lah Alloh SWT yang menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu"
(QS. Al Baqarah : 29)

"Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat)" (QS. Al Jatsiyah : 13)

Alloh SWT sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu dan menundukkannya bagi kepentingan manusia sebagai ni'mat, kemudian Alloh SWT lantas mengharamkannya bagi manusia ? Sesungguhnya Alloh SWT hanya mengharamkan beberapa bagian saja, sehingga wilayah haram dalam agama sangat sempit sedang wilayah halal sangat luas.

Prinsip dalam “beribadah” lebih menekankan pada larangan sampai ada “perintah”, prinsip dalam “muamalah” lebih menekankan pada pembolehan sampai ada “larangan”. Sampai kalau ada dalil (yang membolehkan atau yang melarang), maka status hukumnya berubah.

Kaidah ini harus dipahami betul-betul dahulu, sampai mengerti benar. Sebab banyak orang salah dalam beragama, karena tidak mengerti Kaidah (hukumnya). Salah melangkah pada start awal, maka langkah selanjutnya semakin keliru. Semakin menjauh dari rel-nya, keluar jalan, yang akhiry terjerumus pada tertukarnya Halal – Haram maka itu pula merupakan bagian dalam define Syirik. “sungguh dalam makna kalimat Syahadatain” Penulis.

Dalam hal ibadah, akal hanya tunduk pasrah, tunduk kepada wahyu, meniru apa yang sudah dicontohkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits shahih. Akal tidak boleh mengutak-atik hukum, kecuali hukum suatu ayat dijelaskan oleh ayat yang lain, atau suatu ayat dijelaskan oleh hadits, atau suatu hadits dijelaskan oleh hadits yang lain. Dari hukum umum menjadi khusus.

Perhatikan Kaidah yang sangat mulia ini ! :

لَوْ كَانَ خَيْراً لَسَبَقُوْناَ إِلَيْه

"Kalau sekiranya suatu perkara itu "baik",( pasti Rosululloh, para Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in ) lebih dahulu melaksanakannya" dari pada kita, karena mereka lebih 'alim lebih ta'at dan lebih tahu tentang agama dari pada kita.

Contoh :

Sholat, kita hanya tinggal mencontoh cara Rosululloh sholat, berdasarkan syari’at Alloh SWT. Atas perintah Alloh SWT : "Dirikanlah sholat ! أَقِْيمُوا الصَّلاَة Bagaimana cara sholatnya ? , dijelaskan lewat hadits-hadits Rosululloh, Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat bagaimana cara saya sholat صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمني أُصَلِّى.Tidak boleh membuat cara sholat yang baru. Seperti Sholat Hadiyah, ada tidak dalilnya ?

Dalam muamalah, akal diberikan porsi yang seluas-luasnya, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بأِمُوْرِدُنْيَاكُمْ (kamu lebih mengerti dengan urusan duniamu) tetapi dengan syarat tidak boleh terlepas dari Al-Qur’an dan Hadits, pada pertimbangannya (sebagai barometer). Dalam muamalah tidak terbatas pada benda, tetapi mencakup perbuatan dan aktivitas-aktivitas yang tidak termasuk dalam urusan ibadah.

Contoh :

Boleh makan dan minum, menciptakan tekhnologi, membuat kendaraan, komputer, komunikasi canggih, jual-beli, sewa-menyewa, bermasyarakat, dll sesukanya, asalkan sampai batasan yang tidak diharamkan atau dimakruhkan oleh syari’at. Boleh makan sebatas tidak dimakruhkan dan diharamkan, misalnya ; jangan makan pakai tangan kiri, jangan minum sambil berdiri, jangan makan sampai kenyang berlebihan, jangan makan binatang yang buas, bertaring, mempunyai cakar tajam dll. Makan dan minum pada dasarnya boleh, kecuali yang dibatasi oleh Al Qur'an dan Hadits.

Ada orang yang mengatakan, "Kalau begitu naik Haji, kalau pakai Pesawat Terbang, bid'ah dong ? Dulukan pakai onta !. Rupanya orang tersebut tidak mengerti mana batasan pengertian bid'ah. Bid'ah hanya dalam pelaksanaan ibadahnya. Naik Pesawat Terbang bukan termasuk dalam pelaksanaan ibadah Haji. Tapi ia adalah sarana. Kalau begitu orang yang naik Haji dengan berjalan kaki jadi bid'ah juga dong ! Seandainya naik Haji harus pakai Onta. Pesawat Terbang adalah bagian dari Ilmu Pengetahuan, maka sifatnya mubah.

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتىِ وَ رَضِيْتُ لَكُمْ اِسْلاَ مَ دِيْنَا

"Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan atasmu nikmatku dan telah kuridha'i Islam sebagai agamamu". (QS. Al Maidah : 3)


Agama Islam adalah agama yang sempurna, sesuatu yang sempurna tidak boleh dan tidak perlu ditambahi atupun dikurangi, karena Alloh SWT sendiri yang mengatakan "sempurna" Apabila menambahi atau mengurangi, maka ia lebih hebat dari Alloh SWT dan Rosulnya. Apa-apa yang datangnya dari Alloh SWT pasti disampaikan oleh Rosululloh, dan tidak ada yang disembunyikan.

Sabtu, 11 Januari 2014

Kaidah Dalam Beribadah Islam Bag. 2

Oleh : Ali Hasan Al Halabi Al Atsari

 Sesungguhnya termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat ini. Dia menjadikan dien (agama) ummat ini ringan dan tidak sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang lapang. Allah berfirman.

“ Dia (Alloh) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan" [Al-Hajj : 78]

Banyak orang yang mencampur adukkan antara ibadah dengan yang lainnya ( Keduniawian, muamalah ) dimana mereka berupaya membenarkan bid’ah yang dilakukan dengan menggunakan dalil kaidah, hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh!

Kaidah tersebut adalah kaidah ilmiah yang benar. Tetapi penempatannya bukan dalam masalah ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkaitan dengan keduniawian dan bentuk-bentuk manfaat yang diciptakan Alloh padanya. Bahwa hukum asal dari perkara tersebut adalah halal dan mubah kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkan atau melarangnya.

Syaikh Yusuf Qardhawi berkata dalam bukunya Al-Haram wal Haram fil Islam (hal 21) setelah menjelaskan sisi yang benar dalam memahami kaidah tersebut. “Demikian itu tidak berlaku dalam ibadah. Sebab ibadah merupakan masalah agama murni yang tidak diambil kecuali dari wahyu. Dan dalam hal ini terdapat hadits shahih. “Barang siapa yang membuat hal baru dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan darinya, maka dia ditolak.” 1)

Demikian itu karena sesungguhnya hakikat agama terdiri dari dua hal, yaitu tidak ada ibadah kepada Alloh, dan tidak boleh beribadah kepada Alloh kecuali dengan syari’at yang ditentukan-Nya. Maka siapa yang membuat cara ibadah dari idenya sendiri, siapapun orangnya, maka ibadah itu sesat dan ditolak. Sebab hanya Alloh yang berhak menentukan ibadah untuk taqarrub kepada-Nya.”

Oleh karena itu cara menggunakan kaidah ilmiah yang benar adalah seperti yang dikatakan oleh Al’Allamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang menakjubkan. I’lam al Muwaqqi’in (I/344): “Dan telah maklum bahwa tidak ada yang haram melainkan sesuatu yang diharmkan Alloh dan Rasul-Nya, bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali, apa yang diwajibkan Alloh, dan tidak ada yang haram melainkan yang diharamkan Alloh, dan juga tidak ada agama kecuali yang disyariatkan Alloh. Maka hukum asal dalam ibadah adalah batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan. Sedang hukum asal dalam akad dan muamalah adalah shahih 2) hingga terdapat dalil yang melarang. Adapun perbedaan keduanya adalah, bahwa Alloh tidak disembah kecuali dengan apa yang disyari’atkan-Nya melalui lisan para rasul-Nya. Sebab ibadah adalah hak Alloh atas hamba-hamba-Nya dan hak yang Dia paling berhak menentukan, meridhai dan mensyari’atkannya.”

Syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam Al-Qawa’id An- Nuraniyah Al-Fighiyyah (hal 112) berkata,” Dengan mencermati syari’at, maka kita akan mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang diwajibkan Alloh atau yang disukai-Nya, maka penempatannya hanya melalui syari’at.”

Dalam Majmu’Al-Fatawa (XXXI/35), beliau berkata semua ibadah, ketaatan dan taqarrub adalah berdasarkan dalil dari Alloh dan Rasulnya, dan tidak boleh seorangpun yang menjadikan sesuatu sebagai ibadah atau taqarrub kepada Alloh kecuali dengan dalil syar’i.”

Demikianlah yang menjadi pedoman generasi salafus saleh, baik sahabat maupun tabi’in, semoga Alloh meridhai mereka.

Dari Sa’id Musayyab RadhiyAllohu Anhu, bahwa dia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad (nama panggilan Sa’id bin Musayyab), apakah Alloh akan menyiksa saya karena shalat?” Ia menjawab: “Tidak, tetapi Alloh akan menyiksa kamu karena menyalahi sunnah.”3)

Al-‘Allamah Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (II/236) berkata setelah menyebutkan riwayat tersebut, “Ini adalah jawaban yang sangat indah dari Sa’id bin Musayyab Rahimahullah dan senjata yang kuat untuk mematahkan argumen ahlu bid’ah yang menganggap baik tumbuh suburnya bid’ah dengan alasan demi menghidupkan dzikir dan shalat serta sholawat. Mereka tidak senang kepada Ahlus Sunnah yang mengkritik perbuatan mereka yang menganggap bahwa Ahlus Sunnah anti dzikir dan Shalat serta sholawat! Padahal hakikatnya Ahlus Sunnah mengingkari mereka itu adalah karena mereka menyalahi Sunnah dalam dzikir, shalat, dan sholawat serta yang lainnya.”

Kesimpulannya, dalam pemahaman syari’at adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah harus semata-mata berdasarkan perintah (taufiqiyah), dan tidak disyariatkan kecuali dengan nash yang ditentukan Alloh sebagai hukumnya. Karena terjaminnya ittiba’ dari membuat bid’ah dan menolak kekeliruan dan hal yang baru diadakan. 4)

Di antara contoh amaliah yang menguatkan kaidah ini adalah pendapat Imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi Rahimahullah dalam tafsirnya (IV/401) ketika mendiskusikan tentang menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang yang telah meninggal. Beliau meyakini bahwa pahalanya tidak sampai, kemudian beliau berkata dalam menjelaskan alasan larangan tersebut, “Sebab demikian itu bukan amal mereka dan juga bukan usaha mereka. Karena itu, Rasulullah ShallAllohu Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan kepada umatnya, tidakmenganjurkannya dan tidak membimbing kepadanya dengan dalil maupun dengan isyarat. Dan tidak terdapat dalil tentang hal itu dari seorang sahabatpun, semoga Alloh meridhai mereka. Jika hal itu baik niscaya mereka mendahului kita dengan amalan itu. Sesungguhnya masalah ibadah hanya terbatas pada nahs dan tidak berlaku qiyas maupun pendapat.”


Note :
1.      Telah disebutkan takhrihnya.
2.    Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama fiqih dengan istilah, Hukum asal dalam segala sesuatu adalah mubah.
3.    HR. Baihaqi dalamAs-Sunan Al-Qubra II/466,Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih I/147, Abdurrazaq III/52,Ad-Darimi I/116 dan Ibnu Nahr: 84 dengan sanad shahih.

4.   Marwiyat Du’a Khatmil Qur’an 11-12, Syaikh Bakr Abu Zaid. Disalin dari buku Ilmu Ushul Bida’ Dirasah Takmiliyah Muhimmah fi Ilmi Ushul Al-Fiqh, Ali Hasan Ali Abdulhamid Al-Halabi Al-Atsari, DarRaayah, cet. I, 1992.

Kaidah Dalam Beribadah Islam Bag. 1

الأَصْلُ فِى اْلعِبَادَةِ اَلتَّحْرِيْمُ وَالْبَطْلُ إِلاَّ مَا جَاءَ بِهِ الدَّ لِيْلِ عَلىَ اَوَامِرِهِ

"Hukum asal dalam beribadah adalah haram dan batal kecuali ada dalil yang memerintahkan".

Dalil /Nash Al Qur’an;
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Alloh dan Rosulnya [1407] dan bertakwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al Hujurat :1)

[1407] maksudnya orang-orang mukmin tidak boleh menetapkan sesuatu hukum, sebelum ada ketetapan dari Alloh dan RosulNya. Tidak boleh membuat cara ibadah sebelum ada perintah dari Alloh dan tuntunan dari Rosulullah SAW.

فاَ الأَصْلُ في الْعِبَادَتِ اْلبُطْلاَنُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلىَ اْلأَمْرِ

"Hukum asal dari ibadah adalah bathal, hingga tegak dalil (argument) yang memerintahkannya".
( Imam As Suyuthi, dalam Al Asyba' Wan Nadhoir: 44 dan Ibnu Qoyyim Al Jauziyah dalam I'lamul Muwaqi'ien Juz 1 hal. 344, Dar Al Fikr, Beirut).

Ibadah pada dasarnya adalah haram dan batal. Hukum asalnya adalah haram, dan sesuatu yang batal, tidak syah, tidak berguna dan sia-sia.

Hukum haram dapat berubah menjadi wajib, atau sunnah apabila ada perintah dari Alloh dan Rosul-Nya. Apabila tidak ada perintah dari Alloh dan Rosul-Nya atau apabila tidak ada dalil yang menyuruh (perintah) melakukannya, ia kembali kepada hukum asal HARAM.

اَلأَ صْلُ فِى اْلعِبَا دَةِ التَّوْقِيِفُ وَاْلإِ تِّبَاعُ
"Hukum asal ibadah adalah Tauqif dan Ittiba”.
( bersumber pada ketetapan Alloh dan mengikuti Rosul) ( Abdul Hamid Hakim dalam Al Bayan : 188).

Dalinya berdasarkan Hadits :
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُ نَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barang siapa yang membuat suatu amalan dalam agama ini ( Islam ) yang tidak ada tuntunannya (contohnya), maka amalan tersebut tertolak”.
(HR. Bukhori no. 2679. HR. Muslim no. 1718). (Hadits Shahih)

Hukum-hukum dalam beribadah sudah baku, hak mutlak/otoritas Alloh (karena Ibadah hanya kepada Alloh dan hanya Alloh yang menciptakan cara beribadah sehingga tidak ada peluang bagi manusia untuk membuat cara baru walaupun dipandang baik). Hukum dalam ibadah berupa “mandat” dari Alloh dengan cara mengikuti Rosululloh, manusia hanya menjalankan sesuai isi mandat dan juklak ( petunjuk pelaksanaan : Al Qur'an dan Hadits Shahih). Apabila dilaksanakan atau tidak dilaksanakan, apabila sesuai atau tidak sesuai, ada ganjaran, yaitu pahala dan dosa.




اَلأَ صْلُ فِى اْلعِبَا دَةِ مَأْ مُوْرٌ
"Hukum asal ibadah adalah ( apabila ada ) perintah".

Dalilnya adalah :
"Katakanlah: "Sesungguhnya Aku diperintahkan supaya menyembah Alloh SWT dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) Agama”. (QS. Az Zumar : 11)

Tanpa adanya perintah Alloh atau dari Rosul-Nya, maka siapa yang memerintahkannya ? Kalau bukan atas perintah Alloh atau dari Rosul-Nya maka bisa terjatuh dalam kesyirikan, berarti ada "tuhan" lain yang memerintahkan cara beribadah sesuai kemauan si "tuhan" tersebut. Padahal yang membuat cara beribadah dan cara menyembah kepada Alloh hanyalah Alloh semata.

Maka tidak boleh melakukan suatu ibadah, walaupun (cara /model ibadah tanpa dasar tadi) dipandang baik oleh orang apalagi jika berulang serta dilakukan oleh orang banyak [baca : Bid'ah]. Lebih baik diam (tidak mengerjakan) apabila tidak tahu dalilnya, atau bertanya kepada yang mengetahui hukumnya.

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh SWT. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Alloh SWT)." [ QS. Al An'am : 116]

Dalam ibadah jangan mengikuti persangkaan atau perasaan. Ah ! itukan baik !, yang penting niatnya baik !, lihat orang-orang, banyak yang melakukannya. Ah ! itukan sudah tradisi ! Orang-orang sebelum kita (nenek moyang kita, bapak-bapak kita) juga melakukannya !, kan dari dulu sudah ada sejak zaman Wali songo dan para syeikh juga melakukannya!

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Alloh SWT," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".( QS. Al Baqarah : 170 )

Kalau tidak ada perintah Alloh SWT, atau kalau tidak ada contohnya dari Rosululloh, maka kita perlu bertanya, perintah siapakah yang menyuruh beribadah dengan model seperti itu ? Kalau seandainya perintah manusia ( misalnya : Syaikh, Tuan Guru, Guru Tariqat, Habib, Kiyai, Ustadz, Maulana, Presiden, Suami, Ayah ) maka merekalah yang kita sembah. Karena mengikuti atau menta'ati cara beribadah yang dibuat oleh mereka sendiri (seandainya tanpa dalil yang shahih). Secara tidak sadar terjatuh dalam perbuatan syirik, karena ada si pembuat baru selain Alloh SWT. Ingat ! Hanya Alloh SWT yang membuat cara ibadah dan hanya Alloh SWT yang patut disembah atau di ibadahi, إِيَّاكَ نَعْبُدُ dan tidaklah Alloh SWT menciptakan Manusia dan Jin kecuali hanya untuk beribadah kepada Alloh.

وَمَا خَلَقْتُ اْلجِنَّ وَالإِ نْسَ إِلاَّ ِليَعْبُدُوْن

Tidak ada satu pun ibadah dalam Islam, kecuali Nabi sudah mencontohkannya, kemudian diikuti oleh para Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in. Kita tidak boleh meniru atau mengikuti siapapun dalam beribadah, walau dia dikatakan sebagai orang yang ‘alim atau ulama, kecuali orang itu mengikuti (Ittiba') cara Rosululloh, maka ikutilah. Cara mengetahui bagaimana tata cara Rosululloh dalam beribadah dan mu’amalah adalah dengan cara mempelajari sejarah Nabi Muhammad (Siroh Nabawiyah) ) dan Hadits-hadits Nabi yang shahih, namun tidak semua Bahasa Arab adalah Hadits dan Al Qur’an. Cara mudah untuk memvalidasi kebenaran sebuah Hadits dan Siroh Nabawi adalah dengan menandingi nya dengan Al Qur’an ( Nasekh Mansukh ), selain dengan cara Asbabul Wurud, Perowi dan Sanad Hadits.
اَلأَصْلُ فِى ْالِعبَا دَاتِ اْلحَظْرُ وَاْلمَنْعُ حَتَّى يَقُوْمَ دَلِيْلٌ عَلىَ الْمَشْرُوْعِيَّةِ

"Prinsip dasar dalam berbagai ibadah itu " bahaya" dan "terlarang", hingga adanya dalil yang menunjukkan pensyari'atannya".

Ibadah adalah hubungan, sarana untuk mendekatkan diri kepada Alloh SWT, dengan mengharap ridha-Nya, ampunan-Nya, dan pasti tujuannya kebaikan. Alloh SWT-lah yang menciptakan ibadah, karena itu tidak boleh melakukan ibadah kecuali apa yang telah disyari'atkan Alloh SWT. Sebab hanya Pembuat Syari'at (Alloh SWT) sendiri yang berhak membuat cara-cara ibadah bagi hamba-Nya untuk mendekatkan diri pada-Nya. Bahanyanya adalah apabila kita salah sembah. Siapa yang kita sembah ?

"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Alloh SWT, yang mensyari'atkan untuk mereka apa yang tidak diizinkan Alloh SWT" (QS. As-Syura : 21)

[sembahan-sembahan selain Alloh SWT, maksudnya adalah orang-orang yang menciptakan cara beribadah sendiri, tanpa ada dalil / Nash dari Alloh SWT dan petunjuk Rosululloh]

Hakikat ibadah tercermin dalam dua hal :
1.        Tidak ada yang di ibadahi kecuali hanya Alloh SWT. ( Who / Man ).
2.        Tidak boleh beribadah kepada Alloh SWT kecuali dengan cara yang telah disyari'atkan-Nya ( How / Kaifiyah ).

Atau dalam pengertian yang lain :
1.        Ikhlas hanya kepada Alloh SWT semata.
2.        Amalan tersebut harus dikerjakan atas tuntunan/ panduan/ SOP/ Juklak ( Ittiba' ) kepada Rosululloh.


Ikhlash dan Mutaba’ah adalah syarat diterimanya ibadat
لا تقبل العبادة إلا بالإخلاص والمتابعة

“Tidak diterima ibadat kecuali dengan ikhlas dan mutaba’ah ( mengikuti cara Rosululloh )”

Keterangan :
1.        Ikhlash :
Seseorang yang beramal, maka niatnya tidak terlepas dari tiga kemungkinan :
a.    Tidak ada yang dia inginkan dengan amalnya kecuali Alloh SWT Yang Maha Agung dan Maha Tinggi. Maka inilah yang diterima, karena syarat ikhlas telah terpenuhi padanya.

b.    Tidak ada yang dia inginkan dengan amalnya kecuali dunia dan perhiasannya. Ini tertolak, karena berlawanan dengan ikhlash.

c.    Keinginannya dia sekutukan antara keinginan kepada Alloh SWT dengan keinginan kepada makhluk. Dalam beramal dia meinginkan Alloh SWT dan sekaligus juga menginginkan pujian, sanjungan, kedudukan dan kehormatan. Inipun juga tertolak.

2.        Mutaba’ah :
Yaitu melaksanakan ibadat yang kaifiyatnya sebagaimana kaifiyat yang dilaksanakan Rosululloh SAW. tanpa penambahan dan pengurangan, seperti sholat sebagaimana beliau sholat, berpuasa sebagaimana beliau berpuasa dan berhaji sebagaimana beliau berhaji. Banyak dalil yang menekankan syarat ( mutaba’ah ) ini. Maka setiap ayat yang mensyaratkan bahwa Rosululloh SAW. sebagai contoh dan teladan adalah sebagai petunjuk wajib untuk mengikuti beliau dalam hal yang demikian.

لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا

“Sesungguhnya pada diri Rosululloh ada teladan yang baik untuk kamu, bagi yang mengharapkan Alloh SWT dan hari kemudian dan mereka sangat ingat kepada Alloh SWT” ( Al Ahzab : 21 )

Perlu diketahui bahwa mutaba'ah (mengikuti Nabi) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari'at dalam enam perkara:

1.        Sebab
Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Alloh SWT dengan sebab yang tidak disyari'atkan, maka ibadah tersebut adalah Bid'ah dan tidak diterima (ditolak). Contoh: Ada orang yang melakukan sholat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi'raj Rosululloh (dinaikkan ke atas langit). Sholat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid'ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari'at. Syarat ini- yaitu: ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam sebab- adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid'ah.

2.        Jenis.
Artinya: ibadah harus sesuai dengan syari'at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima. Contoh: Seorang yang menyembelih kuda untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari'at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.

3.        Tatacara ( Kaifiyah )
Yaitu yang tatacara nya mengikuti tatacara Nabi SAW. seperti sholat ( sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku sholat ) dan Haji ( ambillah tatacara Haji kamu dariku ). Maka siapa saja yang melakukan suatu ibadat ( seperti ini ) yang tatacara nya berbeda dengan tatacara yang dibawa Nabi SAW. maka ibadatnya menjadi bathal, lantaran bukan beracuan pada perintah Nabi SAW.

4.         Tempat. ( makan )
Bila sebuah ibadah yang pelaksanaannya dikhususkan pada tempat tertentu, maka sebenarnya tidak boleh melakukannya di tempat yang lainnya kecuali dengan dalil yang membenarkannya di tempat tersebut; seperti haji, thawaf, sa’i dan menyembelih al hadyu ( qurban haji ), andai kata ada orang beri'tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i'tikafnya. Sebab tempat i'tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri'tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i'tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari'at.

5.         Waktu ( zaman )
Bila suatu ibadah yang memiliki waktu tertentu yang tidak sah ( pelaksanaan nya ) kecuali di waktu tersebut, maka tidak boleh melakukannya pada waktu yang lain. Karena mesti mengikuti Nabi saw. dalam hal waktu ( pelaksanaannya ). Seperti waktu ber-haji, sholat lima waktu dan Puasa Ramadlan.

6.         Qadar ( ukuran / bilangan)
Bila syari’at telah menentukan ukuran tertentu untuk suatu ibadat, maka sebenarnya siapapun tidak boleh menambah atau menguranginya. Penambahan dan pengurangan ini tidak sah kecuali dengan dalil yang mengesahkannya. Karena bila tidak ada ( dalilnya ), hal itu tidak boleh. Seperti bilangan raka’at sholat lima waktu, bilangan melontar jumrah, bilangan thawaf, bilangan sa’i, nishab zakat, bilangan kafarat dan hudud dan lain-lain. Semua ini telah ditentukan ukurannya. Maka setiap muslim wajib mengikuti Nabi SAW. tentang ukuran tersebut.

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ, إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ… (رواه النسائي يرقم 1560, وابن ماجه في مقدمة السنن برقم45(

“Barangsiapa diberi hidayah oleh Alloh SWT, maka tak seorang pun bisa menyesatkannya; dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Alloh SWT, maka tak seorang pun yang bisa memberinya hidayah. Sebenar-benar perkataan adalah Kitabulloh, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad SAW. Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan ( dalam agama ), dan setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) ialah Bid’ah, sedang setiap Bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di Neraka…” ( H.R. An Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Irwa’ul Ghalil 3/73 )

Dari ‘Irbadh Bin Sariyah Rodhiyalloh ‘anhu berkata: Rosululloh memberi nasehat kepada kami dengan nasehat yang mendalam, yang karenanya berlinanganlah air mata (karena terharu) dan membuat hati kami bergetar. Seseorang dari kami berkata: Ya Rosululloh, seakan-akan ini adalah nasehat perpisahan, maka berilah kami wasiat. Maka beliau bersabda (yang artinya): "Aku wasiatkan kepada kalian untuk tetap bertaqwa kepada Alloh SWT, dan senantiasa mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah seorang budak Habasyi (Etiopia). Barang siapa hidup (berumur panjang) di antara kalian niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib atas kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa`ur Rasyidin yang mendapat petunjuk (yang datang sesudah ku), gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan jauhilah perkara-perkara baru yang diada-adakan (dalam urusan agama, pent.). Karena sesungguhnya setiap perkara yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat." (HR. Ahmad 4/126, Abu Dawud no.4607, At-Tirmidziy no.2676 dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaniy dalam Shahiihul Jaami’ no.2546)

[ talqihul ifhamil ‘illiyah bi syarhil qawa’idil fiqhiyah 1 : 54, qaidah no.15 ]