Minggu, 12 Januari 2014

Kaidah Dalam Muamalah Bag. 1

اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ

"Hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)"
(Imam As Suyuthi, dalam al Asyba' wan Nadhoir: 43)

لاَ تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلاَّ بِشَرْعِ اللهِ , وَلاَ تُحَرَّمُ عاَ دَةٌ إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ اللهِ

"Tidak boleh dilakukan suatu ibadah kecuali yang disyari'atkan oleh Alloh SWT, dan tidak dilarang suatu adat (muamalah) kecuali yang diharamkan oleh Alloh SWT"

Muamalah pada dasarnya adalah “mubah”. Asal hukumnya boleh (jaiz). Ia berubah hukumnya apabila ada larangan. Apabila ada larangan, sesuatu yang halal, maka berubah menjadi “haram” dan “makruh”. Apabila tidak ada larangan, atau apabila tidak ada dalil yang melarangnya, ia kembali kepada hukum asalnya, yaitu “HALAL”.

"Dia-lah Alloh SWT yang menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu"
(QS. Al Baqarah : 29)

"Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat)" (QS. Al Jatsiyah : 13)

Alloh SWT sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu dan menundukkannya bagi kepentingan manusia sebagai ni'mat, kemudian Alloh SWT lantas mengharamkannya bagi manusia ? Sesungguhnya Alloh SWT hanya mengharamkan beberapa bagian saja, sehingga wilayah haram dalam agama sangat sempit sedang wilayah halal sangat luas.

Prinsip dalam “beribadah” lebih menekankan pada larangan sampai ada “perintah”, prinsip dalam “muamalah” lebih menekankan pada pembolehan sampai ada “larangan”. Sampai kalau ada dalil (yang membolehkan atau yang melarang), maka status hukumnya berubah.

Kaidah ini harus dipahami betul-betul dahulu, sampai mengerti benar. Sebab banyak orang salah dalam beragama, karena tidak mengerti Kaidah (hukumnya). Salah melangkah pada start awal, maka langkah selanjutnya semakin keliru. Semakin menjauh dari rel-nya, keluar jalan, yang akhiry terjerumus pada tertukarnya Halal – Haram maka itu pula merupakan bagian dalam define Syirik. “sungguh dalam makna kalimat Syahadatain” Penulis.

Dalam hal ibadah, akal hanya tunduk pasrah, tunduk kepada wahyu, meniru apa yang sudah dicontohkan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits shahih. Akal tidak boleh mengutak-atik hukum, kecuali hukum suatu ayat dijelaskan oleh ayat yang lain, atau suatu ayat dijelaskan oleh hadits, atau suatu hadits dijelaskan oleh hadits yang lain. Dari hukum umum menjadi khusus.

Perhatikan Kaidah yang sangat mulia ini ! :

لَوْ كَانَ خَيْراً لَسَبَقُوْناَ إِلَيْه

"Kalau sekiranya suatu perkara itu "baik",( pasti Rosululloh, para Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it Tabi'in ) lebih dahulu melaksanakannya" dari pada kita, karena mereka lebih 'alim lebih ta'at dan lebih tahu tentang agama dari pada kita.

Contoh :

Sholat, kita hanya tinggal mencontoh cara Rosululloh sholat, berdasarkan syari’at Alloh SWT. Atas perintah Alloh SWT : "Dirikanlah sholat ! أَقِْيمُوا الصَّلاَة Bagaimana cara sholatnya ? , dijelaskan lewat hadits-hadits Rosululloh, Sholatlah kamu sebagaimana kamu melihat bagaimana cara saya sholat صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمني أُصَلِّى.Tidak boleh membuat cara sholat yang baru. Seperti Sholat Hadiyah, ada tidak dalilnya ?

Dalam muamalah, akal diberikan porsi yang seluas-luasnya, أَنْتُمْ أَعْلَمُ بأِمُوْرِدُنْيَاكُمْ (kamu lebih mengerti dengan urusan duniamu) tetapi dengan syarat tidak boleh terlepas dari Al-Qur’an dan Hadits, pada pertimbangannya (sebagai barometer). Dalam muamalah tidak terbatas pada benda, tetapi mencakup perbuatan dan aktivitas-aktivitas yang tidak termasuk dalam urusan ibadah.

Contoh :

Boleh makan dan minum, menciptakan tekhnologi, membuat kendaraan, komputer, komunikasi canggih, jual-beli, sewa-menyewa, bermasyarakat, dll sesukanya, asalkan sampai batasan yang tidak diharamkan atau dimakruhkan oleh syari’at. Boleh makan sebatas tidak dimakruhkan dan diharamkan, misalnya ; jangan makan pakai tangan kiri, jangan minum sambil berdiri, jangan makan sampai kenyang berlebihan, jangan makan binatang yang buas, bertaring, mempunyai cakar tajam dll. Makan dan minum pada dasarnya boleh, kecuali yang dibatasi oleh Al Qur'an dan Hadits.

Ada orang yang mengatakan, "Kalau begitu naik Haji, kalau pakai Pesawat Terbang, bid'ah dong ? Dulukan pakai onta !. Rupanya orang tersebut tidak mengerti mana batasan pengertian bid'ah. Bid'ah hanya dalam pelaksanaan ibadahnya. Naik Pesawat Terbang bukan termasuk dalam pelaksanaan ibadah Haji. Tapi ia adalah sarana. Kalau begitu orang yang naik Haji dengan berjalan kaki jadi bid'ah juga dong ! Seandainya naik Haji harus pakai Onta. Pesawat Terbang adalah bagian dari Ilmu Pengetahuan, maka sifatnya mubah.

اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتىِ وَ رَضِيْتُ لَكُمْ اِسْلاَ مَ دِيْنَا

"Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan atasmu nikmatku dan telah kuridha'i Islam sebagai agamamu". (QS. Al Maidah : 3)


Agama Islam adalah agama yang sempurna, sesuatu yang sempurna tidak boleh dan tidak perlu ditambahi atupun dikurangi, karena Alloh SWT sendiri yang mengatakan "sempurna" Apabila menambahi atau mengurangi, maka ia lebih hebat dari Alloh SWT dan Rosulnya. Apa-apa yang datangnya dari Alloh SWT pasti disampaikan oleh Rosululloh, dan tidak ada yang disembunyikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar