اَلأَصْلُ فِى اْلأَشْيَاءِ اْلإِ بَا حَة حَتَّى يَدُ
لَّ اْلدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
"Hukum asal dari sesuatu (muamalah) adalah mubah sampai ada dalil yang melarangnya (memakruhkannya atau mengharamkannya)"
(Imam As Suyuthi, dalam al Asyba' wan Nadhoir: 43)
لاَ تُشْرَعُ عِبَا دَةٌ إِلاَّ بِشَرْعِ اللهِ , وَلاَ
تُحَرَّمُ عاَ دَةٌ إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ اللهِ
"Tidak boleh dilakukan suatu
ibadah kecuali yang disyari'atkan oleh Alloh SWT, dan tidak dilarang suatu adat
(muamalah) kecuali yang diharamkan oleh Alloh SWT"
Muamalah pada dasarnya adalah “mubah”. Asal hukumnya
boleh (jaiz). Ia berubah hukumnya apabila ada larangan. Apabila ada larangan,
sesuatu yang halal, maka berubah menjadi “haram” dan “makruh”. Apabila tidak
ada larangan, atau apabila tidak ada dalil yang melarangnya, ia kembali kepada
hukum asalnya, yaitu “HALAL”.
"Dia-lah Alloh SWT yang
menjadikan segala yang ada di Bumi untuk kamu"
(QS. Al Baqarah : 29)
"Dan Dia menundukkan untukmu
apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat)" (QS. Al Jatsiyah : 13)
Alloh SWT sama sekali tidak menciptakan segala sesuatu
dan menundukkannya bagi kepentingan manusia sebagai ni'mat, kemudian Alloh SWT
lantas mengharamkannya bagi manusia ? Sesungguhnya Alloh SWT hanya mengharamkan
beberapa bagian saja, sehingga wilayah haram dalam agama sangat sempit sedang
wilayah halal sangat luas.
Prinsip dalam “beribadah” lebih menekankan pada
larangan sampai ada “perintah”, prinsip dalam “muamalah” lebih menekankan pada
pembolehan sampai ada “larangan”. Sampai kalau ada dalil (yang membolehkan atau
yang melarang), maka status hukumnya berubah.
Kaidah ini harus dipahami betul-betul dahulu, sampai
mengerti benar. Sebab banyak orang salah dalam beragama, karena tidak mengerti
Kaidah (hukumnya). Salah melangkah pada start awal, maka langkah selanjutnya
semakin keliru. Semakin menjauh dari rel-nya, keluar jalan, yang akhiry
terjerumus pada tertukarnya Halal – Haram maka itu pula merupakan bagian dalam
define Syirik. “sungguh dalam makna kalimat Syahadatain” Penulis.
Dalam hal ibadah, akal hanya tunduk pasrah, tunduk
kepada wahyu, meniru apa yang sudah dicontohkan berdasarkan Al-Qur’an dan
Hadits shahih. Akal tidak boleh mengutak-atik hukum, kecuali hukum suatu ayat
dijelaskan oleh ayat yang lain, atau suatu ayat dijelaskan oleh hadits, atau
suatu hadits dijelaskan oleh hadits yang lain. Dari hukum umum menjadi khusus.
Perhatikan Kaidah yang sangat mulia ini ! :
لَوْ كَانَ خَيْراً لَسَبَقُوْناَ إِلَيْه
"Kalau sekiranya suatu perkara
itu "baik",( pasti Rosululloh, para Sahabat, Tabi'in dan Tabi'it
Tabi'in ) lebih dahulu melaksanakannya" dari pada kita, karena mereka lebih 'alim lebih ta'at dan lebih tahu
tentang agama dari pada kita.
Contoh :
Sholat, kita hanya tinggal mencontoh cara Rosululloh
sholat, berdasarkan syari’at Alloh SWT. Atas perintah Alloh SWT :
"Dirikanlah sholat ! أَقِْيمُوا
الصَّلاَة Bagaimana cara
sholatnya ? , dijelaskan lewat hadits-hadits Rosululloh, Sholatlah kamu
sebagaimana kamu melihat bagaimana cara saya sholat صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمني أُصَلِّى.Tidak
boleh membuat cara sholat yang baru. Seperti Sholat Hadiyah, ada tidak dalilnya
?
Dalam muamalah, akal diberikan porsi yang
seluas-luasnya, أَنْتُمْ أَعْلَمُ
بأِمُوْرِدُنْيَاكُمْ (kamu lebih mengerti dengan urusan duniamu) tetapi
dengan syarat tidak boleh terlepas dari Al-Qur’an dan Hadits, pada
pertimbangannya (sebagai barometer). Dalam muamalah tidak terbatas pada benda,
tetapi mencakup perbuatan dan aktivitas-aktivitas yang tidak termasuk dalam
urusan ibadah.
Contoh :
Boleh makan dan minum, menciptakan tekhnologi, membuat
kendaraan, komputer, komunikasi canggih, jual-beli, sewa-menyewa,
bermasyarakat, dll sesukanya, asalkan sampai batasan yang tidak diharamkan atau
dimakruhkan oleh syari’at. Boleh makan sebatas tidak dimakruhkan dan
diharamkan, misalnya ; jangan makan pakai tangan kiri, jangan minum sambil
berdiri, jangan makan sampai kenyang berlebihan, jangan makan binatang yang
buas, bertaring, mempunyai cakar tajam dll. Makan dan minum pada dasarnya
boleh, kecuali yang dibatasi oleh Al Qur'an dan Hadits.
Ada orang yang mengatakan, "Kalau begitu naik
Haji, kalau pakai Pesawat Terbang, bid'ah dong ? Dulukan pakai onta !. Rupanya
orang tersebut tidak mengerti mana batasan pengertian bid'ah. Bid'ah hanya
dalam pelaksanaan ibadahnya. Naik Pesawat Terbang bukan termasuk dalam
pelaksanaan ibadah Haji. Tapi ia adalah sarana. Kalau begitu orang yang naik
Haji dengan berjalan kaki jadi bid'ah juga dong ! Seandainya naik Haji harus
pakai Onta. Pesawat Terbang adalah bagian dari Ilmu Pengetahuan, maka sifatnya
mubah.
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ
عَلَيْكُمْ نِعْمَتىِ وَ رَضِيْتُ لَكُمْ اِسْلاَ مَ دِيْنَا
"Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan atasmu nikmatku dan telah kuridha'i Islam sebagai agamamu". (QS. Al Maidah : 3)
Agama Islam adalah agama yang sempurna, sesuatu yang sempurna
tidak boleh dan tidak perlu ditambahi atupun dikurangi, karena Alloh SWT
sendiri yang mengatakan "sempurna" Apabila menambahi atau mengurangi,
maka ia lebih hebat dari Alloh SWT dan Rosulnya. Apa-apa yang datangnya dari
Alloh SWT pasti disampaikan oleh Rosululloh, dan tidak ada yang disembunyikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar