Oleh : Ali Hasan Al Halabi Al
Atsari
Sesungguhnya termasuk
rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat ini. Dia menjadikan dien (agama)
ummat ini ringan dan tidak sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang
lapang. Allah berfirman.
“ Dia (Alloh) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan" [Al-Hajj : 78]
Banyak orang yang mencampur adukkan
antara ibadah dengan yang lainnya ( Keduniawian, muamalah ) dimana mereka
berupaya membenarkan bid’ah yang dilakukan dengan menggunakan dalil kaidah,
hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh!
Kaidah tersebut adalah kaidah
ilmiah yang benar. Tetapi penempatannya bukan dalam masalah ibadah.
Sesungguhnya kaidah tersebut berkaitan dengan keduniawian dan bentuk-bentuk
manfaat yang diciptakan Alloh padanya. Bahwa hukum asal dari perkara tersebut
adalah halal dan mubah kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkan atau
melarangnya.
Syaikh Yusuf Qardhawi berkata
dalam bukunya Al-Haram wal Haram fil Islam (hal 21) setelah menjelaskan
sisi yang benar dalam memahami kaidah tersebut. “Demikian
itu tidak berlaku dalam ibadah. Sebab ibadah merupakan masalah agama murni yang
tidak diambil kecuali dari wahyu. Dan dalam hal ini terdapat hadits
shahih. “Barang siapa yang membuat hal baru dalam urusan (agama) kami ini apa
yang bukan darinya, maka dia ditolak.” 1)
Demikian itu karena
sesungguhnya hakikat agama terdiri dari dua hal, yaitu tidak ada ibadah kepada Alloh,
dan tidak boleh beribadah kepada Alloh kecuali dengan syari’at yang
ditentukan-Nya. Maka siapa yang membuat cara ibadah dari idenya sendiri,
siapapun orangnya, maka ibadah itu sesat dan ditolak. Sebab hanya Alloh yang
berhak menentukan ibadah untuk taqarrub kepada-Nya.”
Oleh karena itu cara
menggunakan kaidah ilmiah yang benar adalah seperti yang dikatakan oleh
Al’Allamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang menakjubkan. I’lam al Muwaqqi’in
(I/344): “Dan telah maklum bahwa tidak ada yang haram
melainkan sesuatu yang diharmkan Alloh dan Rasul-Nya, bagi orang yang
melakukannya. Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali, apa yang diwajibkan Alloh,
dan tidak ada yang haram melainkan yang diharamkan Alloh, dan juga tidak ada
agama kecuali yang disyariatkan Alloh. Maka hukum asal dalam ibadah adalah
batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan. Sedang hukum asal dalam akad
dan muamalah adalah shahih 2) hingga terdapat dalil yang melarang. Adapun perbedaan
keduanya adalah, bahwa Alloh tidak disembah kecuali dengan apa yang
disyari’atkan-Nya melalui lisan para rasul-Nya. Sebab ibadah adalah hak Alloh
atas hamba-hamba-Nya dan hak yang Dia paling berhak menentukan, meridhai dan
mensyari’atkannya.”
Syaikh Ibnu Taimiyah
Rahimahullah dalam Al-Qawa’id An- Nuraniyah Al-Fighiyyah (hal 112)
berkata,” Dengan mencermati syari’at, maka kita akan
mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang diwajibkan Alloh atau yang disukai-Nya,
maka penempatannya hanya melalui syari’at.”
Dalam Majmu’Al-Fatawa
(XXXI/35), beliau berkata semua ibadah, ketaatan dan taqarrub adalah
berdasarkan dalil dari Alloh dan Rasulnya, dan tidak boleh seorangpun yang
menjadikan sesuatu sebagai ibadah atau taqarrub kepada Alloh kecuali dengan
dalil syar’i.”
Demikianlah yang menjadi
pedoman generasi salafus saleh, baik sahabat maupun tabi’in, semoga Alloh
meridhai mereka.
Dari Sa’id Musayyab RadhiyAllohu
Anhu, bahwa dia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat
setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad (nama panggilan Sa’id bin Musayyab),
apakah Alloh akan menyiksa saya karena shalat?” Ia menjawab: “Tidak, tetapi Alloh akan menyiksa kamu karena menyalahi
sunnah.”3)
Al-‘Allamah Syaikh Al-Albani
dalam Irwa’ Al-Ghalil (II/236) berkata setelah menyebutkan riwayat
tersebut, “Ini adalah jawaban yang sangat indah dari
Sa’id bin Musayyab Rahimahullah dan senjata yang kuat untuk mematahkan argumen
ahlu bid’ah yang menganggap baik tumbuh suburnya bid’ah dengan alasan demi
menghidupkan dzikir dan shalat
serta sholawat.
Mereka tidak senang kepada Ahlus Sunnah yang mengkritik perbuatan mereka yang
menganggap bahwa Ahlus Sunnah anti dzikir dan Shalat serta sholawat! Padahal hakikatnya Ahlus Sunnah mengingkari mereka itu
adalah karena mereka menyalahi Sunnah dalam dzikir, shalat, dan sholawat serta yang lainnya.”
Kesimpulannya,
dalam pemahaman syari’at adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah
harus semata-mata berdasarkan perintah (taufiqiyah), dan tidak disyariatkan kecuali dengan nash yang ditentukan
Alloh sebagai hukumnya. Karena terjaminnya ittiba’ dari membuat bid’ah dan
menolak kekeliruan dan hal yang baru diadakan. 4)
Di antara contoh amaliah yang
menguatkan kaidah ini adalah pendapat Imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi Rahimahullah
dalam tafsirnya (IV/401) ketika mendiskusikan tentang menghadiahkan pahala
bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang yang telah meninggal. Beliau meyakini bahwa
pahalanya tidak sampai, kemudian beliau berkata dalam menjelaskan alasan
larangan tersebut, “Sebab demikian itu bukan amal
mereka dan juga bukan usaha mereka. Karena itu, Rasulullah ShallAllohu Alaihi
wa Sallam tidak memerintahkan kepada umatnya, tidakmenganjurkannya dan tidak
membimbing kepadanya dengan dalil maupun dengan isyarat. Dan tidak terdapat
dalil tentang hal itu dari seorang sahabatpun, semoga Alloh meridhai mereka.
Jika hal itu baik niscaya mereka mendahului kita dengan amalan itu. Sesungguhnya
masalah ibadah hanya terbatas pada nahs dan tidak berlaku qiyas maupun
pendapat.”
Note :
1.
Telah disebutkan takhrihnya.
2. Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama fiqih
dengan istilah, Hukum asal dalam segala sesuatu
adalah mubah.
3. HR. Baihaqi dalamAs-Sunan Al-Qubra II/466,Khatib
Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih I/147, Abdurrazaq
III/52,Ad-Darimi I/116 dan Ibnu Nahr: 84 dengan sanad shahih.
4. Marwiyat Du’a Khatmil Qur’an 11-12, Syaikh Bakr Abu
Zaid. Disalin dari buku Ilmu Ushul Bida’ Dirasah Takmiliyah Muhimmah fi
Ilmi Ushul Al-Fiqh, Ali Hasan Ali Abdulhamid Al-Halabi Al-Atsari,
DarRaayah, cet. I, 1992.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar