Sabtu, 11 Januari 2014

Kaidah Dalam Beribadah Islam Bag. 2

Oleh : Ali Hasan Al Halabi Al Atsari

 Sesungguhnya termasuk rahmat Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada umat ini. Dia menjadikan dien (agama) ummat ini ringan dan tidak sulit. Dia juga telah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan membawa hanifiyah (agama lurus) yang lapang. Allah berfirman.

“ Dia (Alloh) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan" [Al-Hajj : 78]

Banyak orang yang mencampur adukkan antara ibadah dengan yang lainnya ( Keduniawian, muamalah ) dimana mereka berupaya membenarkan bid’ah yang dilakukan dengan menggunakan dalil kaidah, hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh!

Kaidah tersebut adalah kaidah ilmiah yang benar. Tetapi penempatannya bukan dalam masalah ibadah. Sesungguhnya kaidah tersebut berkaitan dengan keduniawian dan bentuk-bentuk manfaat yang diciptakan Alloh padanya. Bahwa hukum asal dari perkara tersebut adalah halal dan mubah kecuali jika terdapat dalil yang mengharamkan atau melarangnya.

Syaikh Yusuf Qardhawi berkata dalam bukunya Al-Haram wal Haram fil Islam (hal 21) setelah menjelaskan sisi yang benar dalam memahami kaidah tersebut. “Demikian itu tidak berlaku dalam ibadah. Sebab ibadah merupakan masalah agama murni yang tidak diambil kecuali dari wahyu. Dan dalam hal ini terdapat hadits shahih. “Barang siapa yang membuat hal baru dalam urusan (agama) kami ini apa yang bukan darinya, maka dia ditolak.” 1)

Demikian itu karena sesungguhnya hakikat agama terdiri dari dua hal, yaitu tidak ada ibadah kepada Alloh, dan tidak boleh beribadah kepada Alloh kecuali dengan syari’at yang ditentukan-Nya. Maka siapa yang membuat cara ibadah dari idenya sendiri, siapapun orangnya, maka ibadah itu sesat dan ditolak. Sebab hanya Alloh yang berhak menentukan ibadah untuk taqarrub kepada-Nya.”

Oleh karena itu cara menggunakan kaidah ilmiah yang benar adalah seperti yang dikatakan oleh Al’Allamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang menakjubkan. I’lam al Muwaqqi’in (I/344): “Dan telah maklum bahwa tidak ada yang haram melainkan sesuatu yang diharmkan Alloh dan Rasul-Nya, bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali, apa yang diwajibkan Alloh, dan tidak ada yang haram melainkan yang diharamkan Alloh, dan juga tidak ada agama kecuali yang disyariatkan Alloh. Maka hukum asal dalam ibadah adalah batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan. Sedang hukum asal dalam akad dan muamalah adalah shahih 2) hingga terdapat dalil yang melarang. Adapun perbedaan keduanya adalah, bahwa Alloh tidak disembah kecuali dengan apa yang disyari’atkan-Nya melalui lisan para rasul-Nya. Sebab ibadah adalah hak Alloh atas hamba-hamba-Nya dan hak yang Dia paling berhak menentukan, meridhai dan mensyari’atkannya.”

Syaikh Ibnu Taimiyah Rahimahullah dalam Al-Qawa’id An- Nuraniyah Al-Fighiyyah (hal 112) berkata,” Dengan mencermati syari’at, maka kita akan mengetahui bahwa ibadah-ibadah yang diwajibkan Alloh atau yang disukai-Nya, maka penempatannya hanya melalui syari’at.”

Dalam Majmu’Al-Fatawa (XXXI/35), beliau berkata semua ibadah, ketaatan dan taqarrub adalah berdasarkan dalil dari Alloh dan Rasulnya, dan tidak boleh seorangpun yang menjadikan sesuatu sebagai ibadah atau taqarrub kepada Alloh kecuali dengan dalil syar’i.”

Demikianlah yang menjadi pedoman generasi salafus saleh, baik sahabat maupun tabi’in, semoga Alloh meridhai mereka.

Dari Sa’id Musayyab RadhiyAllohu Anhu, bahwa dia melihat seseorang mengerjakan lebih dari dua rakaat shalat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang tersebut berkata, “Wahai Abu Muhammad (nama panggilan Sa’id bin Musayyab), apakah Alloh akan menyiksa saya karena shalat?” Ia menjawab: “Tidak, tetapi Alloh akan menyiksa kamu karena menyalahi sunnah.”3)

Al-‘Allamah Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil (II/236) berkata setelah menyebutkan riwayat tersebut, “Ini adalah jawaban yang sangat indah dari Sa’id bin Musayyab Rahimahullah dan senjata yang kuat untuk mematahkan argumen ahlu bid’ah yang menganggap baik tumbuh suburnya bid’ah dengan alasan demi menghidupkan dzikir dan shalat serta sholawat. Mereka tidak senang kepada Ahlus Sunnah yang mengkritik perbuatan mereka yang menganggap bahwa Ahlus Sunnah anti dzikir dan Shalat serta sholawat! Padahal hakikatnya Ahlus Sunnah mengingkari mereka itu adalah karena mereka menyalahi Sunnah dalam dzikir, shalat, dan sholawat serta yang lainnya.”

Kesimpulannya, dalam pemahaman syari’at adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan ibadah harus semata-mata berdasarkan perintah (taufiqiyah), dan tidak disyariatkan kecuali dengan nash yang ditentukan Alloh sebagai hukumnya. Karena terjaminnya ittiba’ dari membuat bid’ah dan menolak kekeliruan dan hal yang baru diadakan. 4)

Di antara contoh amaliah yang menguatkan kaidah ini adalah pendapat Imam Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi Rahimahullah dalam tafsirnya (IV/401) ketika mendiskusikan tentang menghadiahkan pahala bacaan Al-Qur’an kepada orang-orang yang telah meninggal. Beliau meyakini bahwa pahalanya tidak sampai, kemudian beliau berkata dalam menjelaskan alasan larangan tersebut, “Sebab demikian itu bukan amal mereka dan juga bukan usaha mereka. Karena itu, Rasulullah ShallAllohu Alaihi wa Sallam tidak memerintahkan kepada umatnya, tidakmenganjurkannya dan tidak membimbing kepadanya dengan dalil maupun dengan isyarat. Dan tidak terdapat dalil tentang hal itu dari seorang sahabatpun, semoga Alloh meridhai mereka. Jika hal itu baik niscaya mereka mendahului kita dengan amalan itu. Sesungguhnya masalah ibadah hanya terbatas pada nahs dan tidak berlaku qiyas maupun pendapat.”


Note :
1.      Telah disebutkan takhrihnya.
2.    Inilah yang diungkapkan oleh sebagian ulama fiqih dengan istilah, Hukum asal dalam segala sesuatu adalah mubah.
3.    HR. Baihaqi dalamAs-Sunan Al-Qubra II/466,Khatib Al-Baghdadi dalam Al-Faqih wal Mutafaqqih I/147, Abdurrazaq III/52,Ad-Darimi I/116 dan Ibnu Nahr: 84 dengan sanad shahih.

4.   Marwiyat Du’a Khatmil Qur’an 11-12, Syaikh Bakr Abu Zaid. Disalin dari buku Ilmu Ushul Bida’ Dirasah Takmiliyah Muhimmah fi Ilmi Ushul Al-Fiqh, Ali Hasan Ali Abdulhamid Al-Halabi Al-Atsari, DarRaayah, cet. I, 1992.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar